SEJARAH KOTA SOLO
Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik,
J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan
memang di sana) salah satu tempat penyeberangan ("penambangan") di
Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I"
(1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu".
Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad
ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad
ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi"[1] (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon).
Daftar isi
- 1 Pendirian dan perkembangan
- 2 Masa kolonial Belanda 1757-1942
- 3 Masa pendudukan Jepang 1942-1945
- 4 Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
- 5 D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
- 6 Serangan Umum 7 Agustus 1949
- 7 1998-sekarang
- 8 Peristiwa bersejarah yang pernah diselenggarakan
- 9 Referensi dan pranala luar
Pendirian dan perkembangan
Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura tahun 1742. Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton
Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya
beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang
diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar".
Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton
yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara
dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan
baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwono III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Masa kolonial Belanda 1757-1942
Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja,
yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU
seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur
Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak
panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan
pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan
Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur
dalam pernyataan pendek.[3]
Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi
pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir
untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran
diatur dalam S 1940/543. [3]
Masa pendudukan Jepang 1942-1945
Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan.
Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka
Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan
Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widyodiningrat.[3]
Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan
wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi,
Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII
mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta
Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri
Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada
tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan
kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan
tertanggal 19 Agustus 1945.[3]
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso
tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang
bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan
pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat
Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.[3]
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno
selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara,
muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta
yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama
Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik
Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.
D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin
Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII)
mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa
wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI.
Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan
pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[butuh rujukan]
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Persatuan Perjuangan.
Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran
dan Kasunanan. Pertumbuhan gerakan ini cepat dikarenakan ketidakpuasan
rakyat Surakarta terhadap Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari
dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan
tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke
petani (landreform) oleh gerakan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir
(penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh
oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di
wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan.
Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan
dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat
Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal
16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan
politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan
hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah
fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini
juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya
dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono
dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis
Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan
memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak.
Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan
ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3
yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan
membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto,
pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan
pimpinan pemberontak. Namun Soeharto menolak perintah ini karena dia
tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap
para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer
RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini
dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[4]
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak
berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di
Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto
berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa
ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM
Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan
pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para
pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.
Serangan Umum 7 Agustus 1949
Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali
sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta,
Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa,
mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral
Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan
desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan
"Serangan Oemoem" yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki
kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di
Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan
Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet Riyadi".
Kepemimpinan Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS
- pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda
(Van Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi
anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.
1998-sekarang
Mal Ratu Luwes di Pasar Legi yang terbakar
Pada tahun Kerusuhan Mei 1998,
tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan pengrusakan
rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga menyebabkan
kota Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan
Slamet Riyadi menjadi sasaran anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank,
serta kawasan pertokoan, antara lain Matahari Beteng, dirusak dan
dijarah massa. Mobil-mobil di jalanan dibakar dan dihancurkan. Di
sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading, Tipes, Jebres,
serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa. Kerusuhan
kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan
pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga
penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang
semula hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma
Lippo Bank dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi
(SE), serta Cabang Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula
hanya dilempari, akhirnya dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar
Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari empat bus ikut dibakar. Di Solo
bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor Samsat, Jajar. Selain
itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula dihanguskan. Monza Dept
Store di sebelahnya, diremuk, juga toko sepatu Bata dan beberapa toko
lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan Gading dan sekitarnya.[5][6]
Kerusuhan tak hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke
barat dan melakukan kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank
BCA, Lippo, Danamon serta ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah
supermarket di Jalan Raya Kartasura, Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler
Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta toko mebel dibakar. Pada
Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih berlanjut. Sekitar
pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal yang
membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah
dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula
luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga.
Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan
tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap
kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalanan. [5]
Kerusuhan kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir semua toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan hingga pembakaran. [5]
Siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak
toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE
Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput
dari bidikan massa. Menurut saksi mata, amuk massa di Solo, 14-15 Mei
itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang guru dan seorang alumnus
sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah sekelompok orang dengan
dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka
dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar warga
ikut merusak.” Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog
kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni. Ketika asap kebakaran mulai
sirna dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa kerusuhan
selama dua hari itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat
mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah dilakukan
bersih-bersih atas puing-puing amuk massa. Dari 33 mayat itu, 14 di
antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes
Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan
Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat
usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar
50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur. Menurut catatan
Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner
KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di
plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai
total kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar[7][5], sementara sumber lain memperkirakan kerugian mencapai 600 miliar[8]
Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti
kota mati, seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga
kantor bank, masih poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas
dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill,
warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko
Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil. Pascatragedi tersebut,
berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa wilayah Kota Solo juga
tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan
berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat,
tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara
arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini
menjadi tertutup. Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya
pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Pintu dan portal itu
kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos
jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat,
sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan
elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar,
semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.[5]
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota
Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos
polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang
marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. [5]
No. | Jenis | Tingkat kerusakan | Jumlah |
---|---|---|---|
1 | Perkantoran/Bank | Dibakar/dirusak | 56 |
2 | Pertokoan/ swalayan | Dibakar | 27 |
3 | Toko | Dibakar/dirusak | 217 |
4 | Rumah makan | Dibakar | 12 |
5 | Showroom motor/mobil | Dibakar/dirusak | 24 |
6 | Tempat pendidikan | Dirusak | 1 |
7 | Pabrik | Dibakar | 8 |
8 | Mobil/truk | Dibakar | 287 |
9 | Sepeda Motor | Dibakar | 570 |
10 | Bus | Dibakar | 10 |
11 | Gedung bioskop | Dibakar | 2 |
12 | Hotel | Dibakar | 1 |
Balaikota Surakarta yang baru
Kerusuhan kembali terjadi pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati
memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Balaikota, kantor pembantu
gubernur, sejumlah kantor bank, serta fasilitas-fasilitas publik lainnya
rata dengan tanah setelah dibakar massa pada hari itu juga. Julukan
kota sumbu pendek semakin melekat bagi Solo. Sejarawan Solo Sudarmono,
mencatat sejak 1965 hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan berskala
kecil maupun besar di kota pusat kebudayaan Jawa tersebut.[5]
Hingga saat ini tidak ada dibangun monumen untuk memperingati hal
ini, dan lembaran hitam sejarah ini mulai dilupakan penduduk kota Solo.
Pada tanggal 29 Oktober 2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan 11 September, kelompok garis keras "Laskar Islam Surakarta" melancarkan aksi penyisiran warna negara asing yang tinggal di Solo.
Sehubungan dengan terorisme, wilayah di sekitar Solo dikenal sebagai basis beberapa kelompok garis keras, seperti pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada tanggal 3 Desember 2002, Ali Ghufron atau "Mukhlas", seorang tersangka Bom Bali dan pemimpin Jemaah Islamiyah, ditangkap di dekat Surakarta bersama dengan beberapa orang lainnya.
Kecelakaan transportasi yang terjadi di wilayah Solo antara lain: Lion Air Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang meninggal dunia dan Kecelakaan kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu orang meninggal di rumah sakit.
Sejak 2005, setelah Joko Widodo
terpilih menjadi Wali Kota Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit
kembali dan bangunan-bangunan yang terbakar yang dibiarkan tidak terurus
mulai satu per satu dibersihkan.
Peristiwa bersejarah yang pernah diselenggarakan
- Kongres Sarekat Islam yang kedua diselenggarakan pada di Surakarta yang menegaskan bahwa SI hanya terbuka bagi rakyat biasa. Para pegawai pemerintah tidak boleh menjadi anggota.[10].
- Kongres Jong Islamiten Bond yang kedua di Surakarta pada tahun 1926. Di dalam kongres ini, antara lain dibicarakan, Islam dan Pandangan Dunia, Perkembangan Islam di Luar Negeri, serta Islam dan Pikiran Merdeka.
- Kongres Bahasa Indonesia pertama diselenggarakan di Surakarta pada bulan Oktober 1938
- Kongres Pendidikan Bangsa pada tanggal 24-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Putri (SGP) Surakarta. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
- Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 27-29 Desember 1945 di Surakarta dengan hasil terbentuknya Pandu Rakyat Indonesia.
- Konferensi Ekonomi kedua diadakan di Solo pada tanggal 6 Mei 1946, membahas mengenai masalah program ekonomi pemerintah, masalah keuangan negara, pengendalian harga, distribusi, dan alokasi tenaga manusia. Wapres Moh. Hatta mengusulkan mengenai rehabilitasi pabrik gula, dimana gula merupakan bahan ekspor penting sehingga harus dikuasai oleh negara. Untuk merealisasikan keinginan tersebut maka pada 6 Juni 1946 dibentuk Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).[11]
- Pada tahun 1948, Solo juga dipercaya untuk menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional yang pertama, yang tanggal pembukaannya masih diperingati sebagai Hari Olahraga Nasional
- Lekra mengadakan konferensi nasional pertama di Surakarta pada tahun 1959
- Tempat pertandingan Liga Champions AFC 2007
- Final Piala Indonesia 2010
- Pembukaan Liga Primer Indonesia musim pertama pada 15 Januari 2011
- Kongres Luar Biasa PSSI 9 Juli 2011
Referensi dan pranala luar
![]() |
Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998 |
- ^ Noorduyn J. 1968. [www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/view/2567/3328 Further topographical notes on the Ferry Charter of 1358, with appendices on Djipang and Bodjanegara]. BTL 124:460-481
- ^ Lihat, misalnya, Ann Kumar. 1980. Javanese court society and politics in the late eighteenth century: the record of a lady soldier. Part I. The religious, social, and economic life of the court. Indonesia 29:1-46. Artikel ini mengkaji suatu catatan harian mengenai kehidupan keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana IV. Pembukaan pada Serat Babad Mangkunagaran (1779) juga menyebut Pémut tatkala wiwit tinulis, wonten nagari ing Salakarta.
- ^ a b c d e Imam Samroni, dkk. "Daerah Istimewa Surakarta", Pura Pustaka Yogyakarta, Februari 2010
- ^ Ramadhan K.H. "Soeharto: Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya"
- ^ a b c d e f g Kerusuhan Mei 1998 di Solo
- ^ Restrukturisasi Kota Solo Pasca Kerusuhan Mei 1998 Menuju Masyarakat Madani
- ^ Litbang SOLOPOS
- ^ Wasino, Wong Jawa dan Wong Cina: Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998 (Semarang: Unnes Press, 2006), 68-74
- ^ Sumber: Kompilasi data Korem dan Pemda Solo (Dikutip dari Tunjung, 1999) [1]
- ^ http://wartasejarah.blogspot.com/2013/12/sejarah-sarekat-islam.html
- ^ http://speunand.blogspot.com/2011/03/sejarah-indonesia-1945-1953_23.html
- Sejarah Solo
- Rekaman lensa peristiwa Mei 1998 di Solo, Bambang Natur Rahadi; et al, Aksara Solopos, ISBN 9799547504
- Mengenang Tragedi Mei 1998, Memahami Masa Kini, dan Merancang Hari Depan yang Lebih Baik
|
Komentar