Sejarah Perkembangan Perpustakaan di Indonesia
Sejarah Perkembangan Perpustakaan di Indonesia
Era Sebelum Penjajahan
Bangsa Indonesia sejak lama telah mengenal peradaban baca tulis.
Prasasti Yupa di Kutai Kalimantan Timur yang diperkirakan berasal dari
abad ke V Masehi, merupakan bukti sahih tentang keberadaan peradaban
tersebut (Almasyari, 2007).
Pada era kerajaan Hindu-Budha, banyak lahir mahakarya para empu
seperti Negarakertagama, Arjunawiwaha, Mahabharata, Ramayana, Sutasoma
dll. Karya-karya tersebut merupakan hasil interaksi antara kebudayaan
khas Indonesia dengan budaya asing, utamanya India. Pada saat itu
kerajaan-kerajaan telah memiliki semacam pustaloka, yakni tempat untuk
menyimpan beragam karya sastra ataupun kitab-kitab yang ditulis oleh
para pujangga. Hanya saja, pemanfaatan naskah-naskah tersebut bukan
untuk konsumsi masyarakat umum, melainkan lebih banyak untuk keperluan
raja dan para kerabatnya (Sumiati dan Arief, 2004).
Perkembangan perpustakaan mengalami pasang naik di era kerajaan
Islam. Masuknya budaya Arab termasuk baca dan tulis, yang kemudian
berinteraksi dengan kebudayaan Melayu semakin memperkaya khasanah budaya
Indonesia. Pada masa ini banyak dihasilkan karya-karya besar para
pujangga, seperti kitab Bustanus Salatin, Hikayat Raja-Raja Pasai, Babad
Tanah Jawi dll. Kitab-kitab tersebut biasanya disimpan di dekat keraton
atau masjid, yang menjadi pusat aktivitas kerohanian dan kebudayaan.
Era Pemerintahan Hindia- Belanda
Masuknya bangsa Belanda dengan membawa teknologi bidang percetakan,
semakin mempercepat perkembangan budaya baca tulis di Indonesia. Di
samping mendatangkan mesin cetak, mereka membangun gedung perpustakaan
di beberapa daerah. Salah satu yang sampai sekarang masih eksis, adalah
Kantoor voor de Volkslektuur yang kemudian berganti nama menjadi Balai
Pustaka.
Pada tahun 1778, Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en
Wetenschappen mendirikan perpustakaan yang mengkhususkan pada bidang
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, yang kemudian pada tahun 1950 diambil
alih oleh Pemerintah Indonesia, dan dinamakan Lembaga Kebudayaan
Indonesia. Dalam perkembangannya, pada tahun 1989 organisasi ini melebur
menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional Indonesia. Perpustakaan lain
yang didirikan adalah Bibliotheca Bogoriensis, dengan fokus pada bidang
biologi dan pertanian praktis. Perkembangan perpustakaan di beberapa
daerah, antara lain dijumpai di Probolinggo (1874), Semarang (1876),
Yogyakarta (1878), Surabaya (1879), Bandung dan Salatiga (1891). Pada
tahun 1916, perpustakaan-perpustakaan yang ada disatukan menjadi
Vereeniging tot bevordering van het bibliotheekwezen, atau perkumpulan
untuk memajukan perpustakaan di Hindia Belanda.
Semasa pemerintah Belanda menjalankan politik etis, Commissie voor de
Volkslektuur merupakan lembaga yang berperan dalam pemberdayaan
perpustakaan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan, antara lain menambah
jumlah perpustakaan di desa dan sekolah kelas dua di Jawa dan Madura,
melengkapi koleksinya dengan terbitan-terbitan dalam bahasa Jawa, Sunda,
Melayu dan Madura. Dalam perkembangannya, hal tersebut kemudian memicu
para pengusaha pribumi untuk membentuk lembaga penerbitan, yang dapat
memberikan kontribusi terhadap pengembangan perpustakaan di Indonesia
(Almasyari, 2007).
Era Pemerintahan Jepang
Ketika Jepang menguasai Indonesia, mereka mengeluarkan kebijakan
berupa larangan penggunaan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Inggris,
Belanda dan Perancis di sekolah-sekolah. Akibatnya, banyak buku terutama
yang menggunakan bahasa Belanda dimusnahkan. Kondisi ini justru
menguntungkan bagi perkembangan perpustakaan di Indonesia, karena dengan
kebijakan tersebut buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia
jumlahnya menjadi semakin meningkat. Beberapa surat kabar yang terbit
dengan menggunakan bahasa Indonesia pada saat itu, antara lain Suara
Asia, Cahaya Asia dll.
Era Pemerintahan Republik Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, di tengah konsentrasi untuk mempertahankan
kemerdekaan dari invasi pasukan Inggris dan Belanda, serta kesibukan
menghadapi pemberontakan di beberapa daerah, pada tahun 1948 pemerintah
mendirikan Perpustakaan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta.
Banyaknya permasalahan yang harus dihadapi, mengakibatkan lambatnya
perkembangan perpustakaan di Indonesia. Ketika kondisi negara mulai
mapan, pada kurun waktu tahun 1950-1960 pemerintah Republik Indonesia
mulai mengembangkan perpustakaan melalui pendirian Taman Pustaka Rakyat
/TPR (Sumiati dan Arief, 2004). Ada tiga tipe Taman Pustaka Rakyat :
1) Tipe A untuk pedesaan, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SD dan 60% setingkat SMP.
2) Tipe B untuk kabupaten, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan setingkat SMP dan 60% bacaan setingkat SMA
3) Tipe C untuk provinsi, dengan komposisi koleksi 40 % bacaan stingkat SMA dan 60% bacaan setingkat SMA.
Pada tahun 1956, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia No. 29103, Pepustakaan Negara didirikan di
beberapa wilayah di Indonesia. Pendirian perpustakaan tersebut
dimaksudkan antara lain untuk membantu perkembangan perpustakaan dan
menyelenggarakan kerjasama antar perpustakaan yang ada. Perhatian
Pemerintah terhadap pengembangan perpustakaan terus meningkat, dan pada
tahun 1969 dialokasikan dana untuk mendirikan Perpustakaan Negara di 26
Provinsi. Lembaga tersebut difungsikan sebagai Perpustakaan Wilayah, di
bawah binaan Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 0164/0/1980, pada tahun 1980 didirikan Perpustakaan
Nasional, sebagai Unit Pelaksana Teknis bidang perpustakaan di
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kartosedono (Sumiati
dan Arief, 2004) menyatakan bahwa Perpustakaan Nasional merupakan hasil
integrasi dari Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial, Bidang
Bibliografi dan Deposit Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Museum Nasional dan Perpustakaan
Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dalam perkembangannya, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia
No.11 Tahun 1989, Perpustakaan Nasional yang kala itu merupakan unit
pelaksana teknis di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang langsung
bertanggungjawab kepada Presiden. Pembentukan organisasi ini merupakan
penggabungan antara Perpustakaan Nasional dengan Perpustakaan Wilayah
yang ada di 27 provinsi. Pada tahun 1997 berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 50, Perpustakaan \Nasional diubah namanya menjadi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang berlaku sampai dengan
saat ini.
Seiring dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2000, Perpustakaan Nasional
Provinsi menjadi perangkat daerah, dengan sebutan Perpustakaan Umum
Daerah. Mulai saat itu penyelenggaraan perpustakaan diserahkan kepada
kebijakan Pemerintah Daerah masing-masing. Kemudian dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan,
diharapkan perkembangan perpustakaan di Indonesia menjadi semakin
meningkat, karena adanya payung hukum yang kokoh.
Komentar